2 hari lalu, seorang ibu menelepon seorang pemuda yang telah
mempermainkan anaknya selama dua tahun. Dan dengan rasa tidak
bersalahnya, pemuda itu berkata, “Maaf, Anda salah sambung.”
Sadarkah engkau Tuan? Ibu itu ibuku, dia adalah seorang perempuan yang
hendak meminta keadilan terhadap anaknya yang kini sedang memikul beban
yang engkau ciptakan, apa hendak engkau mungkir dari kenyataan? Bukankah
statusmu sebagai santri dan ustadz, harusnya mengerti bahwa mendzolimi
orang lain itu DOSA? Mengambil hak orang lain itu DOSA, bukan? JADI
TOLONG KEMBALIKAN UANG BUKU-BUKU YANG TELAH SAYA KIRIMKAN KEPADAMU DALAM
SADAR DAN PAKSAMU. APA ENGKAU AKAN MENYANGKALNYA, SEDANGKAN BUKU-BUKU
ITU ENGKAU JUAL KEPADA TEMAN-TEMAN SEPONDOKMU DAN HASILNYA KAUMAKAN
SENDIRI, DAN ITU GRATIS DARIKU?! TIDAK PERNAH SALAH JIKA AKU MENAGIHNYA
KINI. ENGKAU BILANG, “SAYA SUDAH TIDAK ADA HUBUNGANNYA LAGI DENGAN
PENERBIT ITU.” HEI... SADARLAH, MASALAH APA YANG ENGKAU CIPTAKAN SAAT
INI. NAMA BAIK SEORANG PEREMPUAN DIPERTARUHKAN UNTUK ORANG YANG
DILINDUNGINYA, DIKASIHINYA SELAMA DUA TAHUN LEBIH ITU; ENGKAU TUAN!
INGATKAH ENGKAU? Bagaimana jika ini terjadi pada keponakanmu kelak?
Ingat, engkau punya banyak keponakan perempuan, bukan? Atau setidaknya
pikirkan ibumu, jika anaknya ditipu lalu ingin memerjuangan keadilan
bagi anaknya lalu menerima jawaban yang menyakitkan seperti itu? Ingat,
dua tahun lebih beliau menyayangi engkau seperti anaknya sendiri, ingat
juga dua tahun lebih beliau (terpaksa) ikhlas anaknya dipermainkan
olehmu.
--------------------------------------------------------------------------------------
Untuk seorang pemuda naif yang membelenggu dirinya dalam pencitraan positif; MUHRODIN ‘AM’.
Jika saja bisa aku memutar waktu ke 2 tahun lalu, aku memilih untuk
tidak dan tidak akan mau mengenalmu. Sekarang yang tertinggal di sini
hanya luka dan ‘tanggungan’ yang seharusnya dibayar olehmu dan bukan
semua tanggung jawabku. Di sini, aku terus melangkah meski tertatih
memenuhi semua kewajiban, sedang engkau tertidur, makan enak tanpa
beban. Adilkah ini, Tuhan?
Bukan aku menyalahkan takdir Tuhan atas
keadaanku saat ini. Tapi ingatlah satu hal yang pasti, jika suatu saat
engkau akan menerima karmamu sendiri. Dengan sadarnya engkau hinakan,
campakkan, lupakan segala apa yang kau perbuat selama itu, Tuan? Apa
memang sifat keluargamu seperti itu?
Maaf, sekali lagi maaf aku tak
bermaksud menafikan nikmat Tuhan yang telah kuterima sejak engkau pergi
dariku. Dicintai dan mencintai seorang laki-laki yang kini menjadi
suamiku, dengan sabarnya, dengan ikhlasnya dia menerima dan menanggung
semua beban yang engkau pikulkan terhadapku.
Tak kenalkah engkau
akan dosa? Kepada semua keluarga, teman, sahabat satu pondoknya (apa
perlu saya menyebut nama pondoknya juga?). Pasti, pasti akan saya
lakukan cepat atau lambat. Jika masalah ini tidak dapat diselesaikan
dengan cara kekeluargaan, maka kita harus bertemu. Entah kapan, entah di
mana. Tanggung jawabmu harus dipertanggung jawabkan.
Sebab salahku
karena salahmu, dan untuk kalian yang sudah tahu kisahku ini dan
pura-pura tutup telinga dan tetap menyalahkan atas apa yang terjadi,
saya ucapkan terima kasih, dan semoga hal ini tidak terjadi pada diri
kalian atau anak-anak kalian kelak.
Kepada SAUDARA MUHRODIN, SAYA
MENUNGGU IKHTIKAD BAIK ANDA DALAM BULAN INI, JIKA TIDAK DIINDAHKAN JUGA,
MAKA TERPAKSA SAYA MENUNTUT ANDA KE PONDOK BERSAMA KELUARGA DAN
ORANG-ORANG YANG SEHARUSNYA ANDA TEMUI. []