Sabtu, 18 Februari 2017

KEPADA PEMUDA NAIF YANG MEMBELENGGU DIRINYA DALAM PENCITRAAN POSITIF; MUHRODIN 'AM'

2 hari lalu, seorang ibu menelepon seorang pemuda yang telah mempermainkan anaknya selama dua tahun. Dan dengan rasa tidak bersalahnya, pemuda itu berkata, “Maaf, Anda salah sambung.”

Sadarkah engkau Tuan? Ibu itu ibuku, dia adalah seorang perempuan yang hendak meminta keadilan terhadap anaknya yang kini sedang memikul beban yang engkau ciptakan, apa hendak engkau mungkir dari kenyataan? Bukankah statusmu sebagai santri dan ustadz, harusnya mengerti bahwa mendzolimi orang lain itu DOSA? Mengambil hak orang lain itu DOSA, bukan? JADI TOLONG KEMBALIKAN UANG BUKU-BUKU YANG TELAH SAYA KIRIMKAN KEPADAMU DALAM SADAR DAN PAKSAMU. APA ENGKAU AKAN MENYANGKALNYA, SEDANGKAN BUKU-BUKU ITU ENGKAU JUAL KEPADA TEMAN-TEMAN SEPONDOKMU DAN HASILNYA KAUMAKAN SENDIRI, DAN ITU GRATIS DARIKU?! TIDAK PERNAH SALAH JIKA AKU MENAGIHNYA KINI. ENGKAU BILANG, “SAYA SUDAH TIDAK ADA HUBUNGANNYA LAGI DENGAN PENERBIT ITU.” HEI... SADARLAH, MASALAH APA YANG ENGKAU CIPTAKAN SAAT INI. NAMA BAIK SEORANG PEREMPUAN DIPERTARUHKAN UNTUK ORANG YANG DILINDUNGINYA, DIKASIHINYA SELAMA DUA TAHUN LEBIH ITU; ENGKAU TUAN! INGATKAH ENGKAU? Bagaimana jika ini terjadi pada keponakanmu kelak? Ingat, engkau punya banyak keponakan perempuan, bukan? Atau setidaknya pikirkan ibumu, jika anaknya ditipu lalu ingin memerjuangan keadilan bagi anaknya lalu menerima jawaban yang menyakitkan seperti itu? Ingat, dua tahun lebih beliau menyayangi engkau seperti anaknya sendiri, ingat juga dua tahun lebih beliau (terpaksa) ikhlas anaknya dipermainkan olehmu.

--------------------------------------------------------------------------------------

Untuk seorang pemuda naif yang membelenggu dirinya dalam pencitraan positif; MUHRODIN ‘AM’.

Jika saja bisa aku memutar waktu ke 2 tahun lalu, aku memilih untuk tidak dan tidak akan mau mengenalmu. Sekarang yang tertinggal di sini hanya luka dan ‘tanggungan’ yang seharusnya dibayar olehmu dan bukan semua tanggung jawabku. Di sini, aku terus melangkah meski tertatih memenuhi semua kewajiban, sedang engkau tertidur, makan enak tanpa beban. Adilkah ini, Tuhan?

Bukan aku menyalahkan takdir Tuhan atas keadaanku saat ini. Tapi ingatlah satu hal yang pasti, jika suatu saat engkau akan menerima karmamu sendiri. Dengan sadarnya engkau hinakan, campakkan, lupakan segala apa yang kau perbuat selama itu, Tuan? Apa memang sifat keluargamu seperti itu?

Maaf, sekali lagi maaf aku tak bermaksud menafikan nikmat Tuhan yang telah kuterima sejak engkau pergi dariku. Dicintai dan mencintai seorang laki-laki yang kini menjadi suamiku, dengan sabarnya, dengan ikhlasnya dia menerima dan menanggung semua beban yang engkau pikulkan terhadapku.

Tak kenalkah engkau akan dosa? Kepada semua keluarga, teman, sahabat satu pondoknya (apa perlu saya menyebut nama pondoknya juga?). Pasti, pasti akan saya lakukan cepat atau lambat. Jika masalah ini tidak dapat diselesaikan dengan cara kekeluargaan, maka kita harus bertemu. Entah kapan, entah di mana. Tanggung jawabmu harus dipertanggung jawabkan.

Sebab salahku karena salahmu, dan untuk kalian yang sudah tahu kisahku ini dan pura-pura tutup telinga dan tetap menyalahkan atas apa yang terjadi, saya ucapkan terima kasih, dan semoga hal ini tidak terjadi pada diri kalian atau anak-anak kalian kelak.

Kepada SAUDARA MUHRODIN, SAYA MENUNGGU IKHTIKAD BAIK ANDA DALAM BULAN INI, JIKA TIDAK DIINDAHKAN JUGA, MAKA TERPAKSA SAYA MENUNTUT ANDA KE PONDOK BERSAMA KELUARGA DAN ORANG-ORANG YANG SEHARUSNYA ANDA TEMUI. []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar