Senin, 14 Maret 2016

Risalah Peri Kecil



 Mendung masih menawarkan kerinduan yang mendalam. Sembari menyesap hangatnya teh manis buatan ibunya ia masih menatap nanar foto kekasihnya; yang tak kunjung tiba. Aku iba, melihatnya menangis sepanjang malam. Saat ia menjemputku kemarin saat gerimis masih ritmis seiring rindunya yang teramat miris. Ah, aku ingin memelukmu, Nona!
Aku dapat melihat matamu yang sembab itu, biarpun kacamata itu sengaja kau pakai untuk menyamarkan genangan air mata yang dapat kurasakan pilunya.
"Aku keluar dulu ya, sama ibu kok, ada perlu sebentar, jangan lupa sarapan ya."
Itu pesan yang dia kirimkan pada Tuanku yang jauh di sana. Dan kudengar, Tuanku sebentar lagi berulang tahun. Tuan, saat kau memintaku ke sini, aku mulai bertanya-tanya apa maksudmu sebenarnya. Namun, sekarang aku tahu maksudmu, kau ingin aku menjaga nona manismu ini, bukan? Meski memang ini keterbatasanku, ia tak mungkin mengajakku keluar. Sejauh ini, ia baik-baik saja, meski ia sering tidur terlalu malam, sering menangisimu walau karena hal sekecil apa pun. Kau tahu Tuan, itu rasa tak ingin kehilangan yang tak bisa aku jelaskan.
Atau lebih tepatnya aku tak pernah tahu; tak pernah mengerti.
***
15 Februari 2016. Malam begitu larut, Nonaku masih saja memandangi layar handphone-nya, rupanya ia tengah melepas penat dengan bermain game. Jenuh juga. Kemudian kulihat dia membuka Tablet Pixcom Core Voiz 2-nya yang merupakan kado dari Bunda Melly, salah satu teman literasinya yang telah dianggap seperti bundanya sendiri.
“Hei, malam Mas, lagi di Gramed ya? Hati-hati ya pulangnya.”
“Iya ini lagi mampir di jalan makan dulu. Jangan lupa maem dan met istirahat ya,” rupanya Tuanku sedang ada di luar. Aih! Aku bisa menangkap rasa khawatir dari Nonaku ini.
“Iya, met maem ya, tadi beli buku apa?”
“Bernard Batubara sama Mas Benny Arnas,” emoticon senyum tak lepas dari chat kalian. Aku bahagia Tuan, sungguh.
Dan entah mereka mengobrol apa saja, yang pasti ada perasaan lega di hati Nonaku yang sedari pagi tak bersemangat sama sekali. Padahal pekerjaannya menumpuk. Tuan, cepatlah ke mari, Nonaku ini membutuhkan engkau di sisi. Tuan, jika engkau ada di sini, kau pasti akan tahu bagaimana dia bertahan untukmu. Jika pun engkau tak dapat memberinya kebahagiaan dunia nantinya, setidaknya berikan rasa nyaman pada batinnya. Jangan buat dia bersedih ya? Aku mohon.
***
00.51 WIB
Rabu, 16 Februari 2016
Nonaku masih terjaga, aku yakin dia sedang menunggu kabar darimu. Ah, Tuan! Bukankah engkau berjanji akan mengabarinya jika sudah pulang? Nona, tidurlah. Mungkin Tuanku sudah tidur karena kelelahan. Jangan menunggu lagi karena aku takut kau kecewa. Jaga kesehatanmu.
“Sudah sampai belum? Met rehat ya.”
Satu menit. Dua menit. Tak ada jawaban.
Nonaku membuka facebook-nya, memastikan lelakinya masih online atau tidak. Membaca postingan-postingan di wall post FB itu, ya di sana.

Kyuzaki (nama disamarkan): Kok malam sih… besok saja, Bang. Siapa tahu ketemu dengan saya.

Salah satu komentar itu seketika membuat Nonaku terdiam. Entah apa yang sedang ada dalam pikirannya saat ini. Tuhan… Nonaku mungkin cemburu. Sabarlah Nona, Tuanku pun mungkin tidak mengenalnya, khusnudzon-lah dengan pikiranmu, aku tak mau melihatmu menangis lagi! Toloong!!
"Met rehat ya, mimpi indah."
Aku mengintip message di outbox message-mu yang baru saja kau kirim kepada Tuanku. Alih-alih meredakan rasa cemburu, kau kemudian memutar mp3. Betapa pun aku terenyuh saat engkau memejamkan matamu, lalu mendekapku di dada. Terdengar jelas olehku, kau berusaha menyembunyikan isak itu dengan begitu senyap. Dengan masih memelukku, semakin erat-dan erat lagi-air mata itu mulai jatuh satu-satu, andainya engkau melihatnya, Tuan.
Sepuluh... Dua puluh... aku menghitung menit-menit yang membuatku serasa beku. Kuperhatikan wajahnya, memastikan ia sudah pulas.
***
Sepagi ini, kulihat Nonaku sibuk di depan komputernya. Atau lebih tepatnya dia belum tidur sejak semalam. Matanya kuyu, sesekali memijati kepalanya yang kurasa sangat pusing dengan segala tugasnya. Lantas mengambil secarik kertas dan pulpen, rupanya ia hendak mengirimkan kado untukmu Tuan. Tepat hari ini 23 Februari.

Dear Kekasihku,

Kukirimkan suratku dengan segala kerinduan yang ada di muka bumi, tentang kesetiaan, harapan, romantisme, yang tak henti-henti kurajut untukmu. Semoga engkau pun menyemogakan segala harapan yang aku harap-harapkan. Semoga engkau selalu dalam lindungan Allah; Sang Maha Cinta.
Sebelumnya aku ingin meminta maaf, karena kado yang kuberikan ini sangatlah sederhana. Maafkan aku yang selalu saja mengecewakanmu, Mas.
Satu keinginan yang kuharapkan hanyalah aku ingin kisah kita abadi, direstui oleh semua pihak, bahkan semesta. Doaku, aku inginkan sehidup semati denganmu, aku tak inginkan apa pun selainnya. Apa engkau mau, Sayang? Aku masih saja gadis kecilmu yang pencemburu, konyol, egois, dan aku tetap tidak mengerti mengapa engkau mencintaiku karena semua sifatku itu, Mas. Apa ada yang salah denganmu? Apakah cinta yang salah? Aih, kamu selalu membuatku bertanya-tanya. Yang pasti, aku hanya ingin hidup bersamamu. Selamanya…

Kekasihmu,
Lavira Az-Zahra

Tuan, aku berharap setelah kau baca surat ini, hatimu sedikit lembut untuknya, dia hanya membutuhkanmu, bukan aku atau siapa pun. Tak ada artinya perantara segala hadiah untuknya jika engkau pun menjauhi bahkan tidak peduli terhadapnya. Aku ingin memberitahumu, dia pernah berbisik padaku, bahwa ia hanya menginginkan ketulusan, perhatianmu, karena itu yang membuatnya bertahan hidup. Tuan, aku dapat menghangati raganya, tapi bukan jiwanya. Dengan segala risalah kerinduannya, itulah doa-doa yang membuatmu bahagia, bukan hanya kesenangan dunia namun juga kebahagiaan akhirat nanti. Di sini, ada satu kisah, yang selalu abadi, tak pernah usai, tanpa mengerti kemarau atau pun hujan. [*]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar